Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Anwar Ibrahim, PM Yang Berdiri Antara Natsir, Soedjatmoko dan Fraire Oleh : Elviriadi

JENDELA INFORMASI
Mei 12, 2023, 21:35 WIB Last Updated 2023-05-12T14:40:43Z
Foto. Dr Elviriadi

Pekanbaru, Tingkap.info - Wacana hedonisme penguasa dan pentingnya pendidikan pembebasan yang kritis menarik perhatian Anwar Ibrahim muda selepas menyelesaikan pendidikan Universitas.

Dalam pencaharian intelektual, era itu 80-an, Anwar muda memanfaatkan momen hubungan organis dinamis Malaysia-Indonesia.

Sosok pribadi besar Mohammad Natsir, Buya Hamka tak luput jadi tujuan bergurunya. Disebelah "nasionalis" , Anwar terpukau dengan Soedjatmoko, seorang intelektual par exellence, perancang pembangunan indonesia.

Konteks masyarakat pasca-kolonial Indo-Malaysia yang masih terbelenggu dalam sikap warisan penjajahan, dan dilanjutkan oleh penguasa pasca-kemerdekaan, mencabar nalar para cendikiawan kritis.

Anwar dan rakan-rakannya menyedari kemerdekaan telah tidak diisi dengan pembinaan ruh merdeka, malah telah berlaku dehumanisasi dan peminggiran atas nama pembangunan.

Memgelaborasi Paolo Freire dan Al Kawakibi, Anwar menempatkan posisi pendidikan tidak segaris dengan tujuan Industrialis-kapitalistik. 

Pendidikan dimaknai sebagai wahana membangkitkan kaum tertindas yang buta huruf dan terbenam dalam budaya bisu. Anwar berkeyakinan bahawa manusia betapa pun jahilnya, dan berapa pun lamanya terbenam dalam budaya bisu (submerged in the culture of silence), ia tetap berpotensi untuk mampu melihat dunianya secara kritis. Itulah natijah pendidikan yang ada difikirannya.

Tapi, genealogi politik manhaji, disauk dari M.Natsir dan Buya Hamka membuat Anwar Ibrahim tidak bisa menerima politik Mahathir Mohammad yang menjurus mediokriti birokrasi dan berjauhan dengan aspirasi rakyat.

Dia merentang (melawan), lalu mengambil sikap bertentangan secara asimetris selaku Wakil Perdana Menteri. Mahathir berang sehingga Anwar , terbuang. Anwar selanjutnya memasuki masa masa heroik dan berhadapan dengan penjara.

 Intellectual Exercise

Anwar Ibrahim lebih ketara sebagai intellectual exercise.

Literatur yang padat dari Falsafah Timur dan Barat, tafsir Quran dan pelibatan diri dalam haraqah dakwah memangkin sifat seorang pencetus ide. Pelopor diksi mengenai masa depan. Sejumlah pidato politik, orasi budaya di Kolej Islam Selangor dan Universitas menegaskan gaya seorang pemimpin pencerah.

Dahulu dikitaran tahun 1997, Ia bersama CELDES datang ke Riau, IAIN Susqo menggelar seminar tentang islam sebagai agama dinamis sumber perubahan.

"ASIA (Tenggara) macan Dunia, " kita ingat kata kata yang menggelegar itu.

Bahkan, Allahyarham Siddiq Fadzil sehabat rapatnya menyebut, "Saudara Anwar lebih dari seorang politisi. Dia seorang cendikiawan begeliga dan pandita. Diantara idea idea bercorak masa depan yang di torehkan antara lain ; _wawasan kebangkitan Asia, wawasan ekonomi kemanusian, wawasan pendidikan keinsanan, wawasan masyarakat madani, dan yang terkini gagasan World Forum for Muslim Democrats_

Antara pesan Islam sebagai falsafah negara ala Natsir dengan Dimensi manusia dalam pembangunan" Soedjatmoko, Anwar Ibrahim membuka tabir kepemimpinan baru Malaysia. Sebagai Perdana Menteri "Pertama" yang terlahir dari kalangan aktivis, orator dakwah dan pembaca buku yang tekun. Tentu saja "human capital" seumpama yang sudah dimiliki itu sangat membantu. Pertanyaannya; bagaimanakah ia terwujud dalam problematik luar dan dalam negara Malaysia yang sudah complicated?

AII ; Sebuah Jawapan?

Sudah semestinya kedudukan intelektual oposan (pembangkang) memiliki perbezaan ketika berlegar di eksekutif.. 

Anwar - dengan demikian- memerlukan think tank yang boleh mengelaborasi ide ide politiknya tampak molek dan dihormati.

Juga -yang jaga penting penting- bagaimana memahamkan (re-indoktrinasi) rakyat malaysia bahawa syariah dan tauhidlah penyelesaian semua masalah bangsa dan menjana kemakmuran rakyat.

Bagaimana pun, suasana sekuler dan pemikiran common sense telah menjalar ke hati umat islam di rantau ini. Jika disebutkan idiom islam dalam konteks negara, segera mereka dikhuatirkan oleh isu isu negatif seperti anti demokrasi, ekslusif dan sektarian. Padahal Anwar Ibrahim melalui "guru"nya Natsir, Kasman Singodimedjo dan Buya Hamka mempercayai manhaj reformatif ishlahi yang bersumber dari AlQuran Sunnah adalah jalan (way of life).

Oleh itu, penulis selaku pengagum Anwar Ibrahim dan rakan rakannya di ABIM menawarkan sebuah lembaga think tank, Anuar Ibrahim Institute (AII) ia bernama.

Kehadiran lembaga Think Tank seumpama yang penulis usukan ialah : Anwar Ibrahim Institute (AII).

Kami meyakini, tersebab geneologi intelektual politis Anwar Ibrahim berakar pada tokoh tokoh itu, ramuan mix Pak Natsir, Buya Hamka, Soedjatmoko, dan Juga Mungkin Bung Karno dan Tan Malaka serta tokoh tokoh Semenanjung Malaya. Maka, epistemologi kebijakan kenegaraan harus disandingkan dengan peradaban islami yang konseptuil, progresif, humanis, dengan tauhid sebagai sumbunya. Inilah diantara filosofi didirikan "Anwar Ibrahim Institute". 

Kami juga, sebagai generasi muda se Rumpun, apalagi Riau-Malaysia yang satu kerajaan Riau Lingga, ingin menyaksikan cita cita pak Natsir dan ulama pejuang nusantara, termanifestasi dalam periode kepemipinan Malaysia sekali ini. Kita anak anak ideologis Pak Anwar Ibrahim dirantau ini merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk membersamai pak Anuar Ibrahim dalam gelombang baru kebangkitan (hadharah Islam) Malaysia. Itu lah penulis gerak cepat menjumpai rakan rakan sang PM antaranya Kang Fathurrahman Bogor dan Kakanda Amidi Abdul Manan serta mujahid dakwah di negeri jiran. Apakah Anwar Ibrahim Institute (AII) ini sebuah jawapan? Tentu ianya sebuah ikhtiar. Demi liilaa kalimatillah. Karena Sesungguh Allah takkan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu merubahnya. Wallahu"allam bisshowwob.

Elviriadi pensyarah UIN Suska Riau. Aktif dalam gerakan dakwah dan juga dikenali sebagai pakar Alam Sekitar dan Kehutanan.

Iklan

iklan