GURU DALAM DUA DUNIA: DILEMA ANTARA IDEAL MENGAJAR ATAU TARGET MANAJEMEN SEKOLAH
Oleh:
Ulfah Zahiroh¹ | Abdul Rahim² | Dr. Shelvie Famella, M.Pd³ | Dr. Adolf Bastian, S.Pd., M.Pd³
SMA IT Darul Fikri Boarding School Selatpanjang¹ | SMP Negeri 1 Satu Atap Mempura² | Pascasarjana Universitas Lancang Kuning³
“Saya ingin mendidik dengan hati, tapi terlalu banyak administrasi yang harus saya kejar.”-Seorang guru dalam forum pendidikan daring
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia mengalami transformasi yang luar biasa. Kebijakan demi kebijakan, inovasi demi inovasi, terus bergulir dengan semangat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun di balik berbagai gebrakan ini, tersembunyi kenyataan pahit yang dirasakan banyak guru: tekanan administratif yang terus meningkat. Guru tidak lagi hanya dituntut untuk mengajar dan mendidik, tetapi juga menjadi operator sistem informasi, administrator laporan, hingga pelaksana kebijakan tanpa ruang negosiasi. Dalam situasi ini, guru terjebak dalam dilema antara menjalankan idealisme mengajar dan memenuhi target manajemen sekolah.
Konflik dalam organisasi bukanlah sesuatu yang asing. Robbins dan Judge (2013) mengklasifikasikan konflik organisasi ke dalam beberapa jenis, dua di antaranya adalah konflik peran dan konflik nilai. Konflik peran terjadi ketika seseorang dihadapkan pada dua peran yang bertentangan, seperti peran guru sebagai pendidik yang fokus pada proses pembelajaran, dan peran administratif yang menuntut kelengkapan dokumen serta laporan kinerja. Sementara itu, konflik nilai muncul saat nilai pribadi seseorang tidak sejalan dengan nilai atau budaya organisasi.
Dalam konteks pendidikan, konflik nilai ini sangat terasa. Banyak guru masuk ke dunia pendidikan karena panggilan jiwa, ingin membentuk generasi yang berkarakter, kreatif, dan berakhlak. Namun ketika realita kerja lebih menekankan pada kelengkapan administrasi, akreditasi, dan pencapaian target numerik, nilai-nilai pribadi tersebut tercederai. Herzberg (1968) melalui teori motivasi higiene, menjelaskan bahwa motivasi kerja yang tinggi lahir dari kepuasan intrinsik, seperti pencapaian, pengakuan, dan makna pekerjaan. Ketika aspek-aspek ini diabaikan, maka guru akan mengalami demotivasi, bahkan burnout.
Dalam survei Media Guru Indonesia (2024), ditemukan bahwa 78% guru menyatakan beban administrasi mengganggu konsentrasi mereka dalam mengajar. Sebanyak 42% guru mengaku merasa frustrasi, dan bahkan berpikir untuk berhenti dari profesinya. Di platform Kompasiana, para guru menyoroti bahwa tugas administrasi bukan hanya sekadar pelengkap, melainkan telah menjadi beban yang signifikan.
Salah satu penulis menyampaikan bahwa “beban administrasi yang berlebihan justru dapat membebani guru dan menghambat kreativitas mereka dalam mengajar”. Ungkapan ini bukan sekadar keluhan, tapi cerminan disonansi antara ekspektasi dan realitas. Guru diharapkan menjadi agen perubahan, tetapi tidak diberi ruang yang cukup untuk mengekspresikan profesionalismenya dalam mendidik. Ini adalah bentuk nyata dari kondisi yang disebut sebagai “silent resignation”, guru yang hadir secara fisik, namun telah menyerah secara psikologis.
Jika sekolah dikelola layaknya mesin, maka setiap elemen di dalamnya, termasuk guru, diperlakukan sebagai komponen mekanis yang harus berfungsi sesuai sistem. Tidak heran jika kemudian sekolah sibuk mengejar angka akreditasi, capaian kurikulum, dan data yang rapi, tapi kehilangan ruh pendidikan. Sekolah yang seperti ini sering tidak memberi ruang bagi guru untuk berkembang, berefleksi, atau berinovasi.
Berbeda halnya dengan sekolah yang berfungsi sebagai ruang tumbuh. Dalam pendekatan ini, guru diposisikan sebagai manusia utuh yang memiliki aspirasi, nilai, dan kreativitas. Sekolah menjadi tempat dialog, kolaborasi, dan pembelajaran bersama. Organisasi sekolah seperti ini mampu meminimalisir konflik, meningkatkan kepuasan kerja, dan memperkuat budaya organisasi yang sehat.
Mengatasi konflik peran dan nilai dalam organisasi sekolah membutuhkan pendekatan manajerial yang manusiawi. Pertama, kepala sekolah dan pimpinan harus mengadopsi gaya kepemimpinan partisipatif. Artinya, guru tidak hanya dijadikan pelaksana, tapi juga diajak merumuskan kebijakan dan target bersama.
Kedua, sekolah perlu melakukan audit administratif. Tugas yang berulang dan tidak mendukung pembelajaran sebaiknya dieliminasi. Gunakan teknologi informasi secara bijak, bukan justru menambah beban guru. Ketiga, penting untuk menciptakan iklim kerja yang suportif, ada penghargaan, ruang refleksi, dan supervisi yang membina, bukan menghukum.
Dalam jangka panjang, organisasi sekolah harus merumuskan kembali nilai-nilai dasarnya. Tujuan utama pendidikan bukanlah kelengkapan laporan, tetapi pembentukan manusia yang utuh. Maka struktur organisasi, kebijakan, dan budaya sekolah pun harus selaras dengan tujuan luhur ini.
Guru adalah aktor utama dalam dunia pendidikan. Ketika guru mengalami konflik yang terus-menerus antara idealisme dan sistem, maka kualitas pendidikan secara keseluruhan akan terganggu. Sudah saatnya organisasi sekolah dibenahi dengan prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kebermaknaan.
Pendidikan yang baik bukan hanya tentang capaian kognitif peserta didik, tapi juga tentang bagaimana para guru didukung untuk tumbuh, bermakna, dan bahagia dalam menjalankan perannya. Karena sekolah yang sehat dimulai dari guru yang dimanusiakan.
Daftar Referensi:
1. Robbins, S. P. & Judge, T. A. (2013). Organizational Behavior Edition 15. Pearson Education. New Jersey.
2. Herzberg, F. (1968). One More Time: How Do You Motivate Employees?. Harvard Business Review.
3. Hoy, W. K. & Miskel, C. G. (2013). Educational Administration: Theory, Research, and Practice. Mc Graw Hill
4. Media Guru Indonesia. (2024). Eksplorasi Beban Digital Guru : Survei Pemanfaatan Platform Merdeka Mengajar (PMM)
5. Kompasiana (2025). Administrasi Pembelajaran: Kunci Sukses atau Beban Guru?.