Menurut Fadli, Korlap BASMI Riau mengatakan, Proses hukum atas dugaan tindak pidana korupsi di Bagian Umum Pemkab Kepulauan Meranti Tahun anggaran 2023 hingga 2025 sudah bergerak ke fase krusial namun diduga terhenti ditengah jalan oleh oknum tak bertanggungjawab. Kejaksaan Tinggi Riau dalam hal ini Asisten Pidana Khusus secara resmi sudah bersurat bahwa laporan masyarakat terhadap unsur dugaan korupsi di Bagian Umum Pemkab Meranti akan ditindaklanjuti dengan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket), termasuk kesaksian dan keterangan sebagaimana tertuang dalam surat resmi Kejati Riau Nomor B-4459/L.4.5/Fo.2/09/2025.
Dokumen itu jelas mengatakan kasus ini bukan sekadar laporan yang tak beralasan, namun jelas dan kuat dengan bukti termasuk Audit LHP dari BPK-RI. Publik berharap ada kejelasan atas terjadinya kemiskinan yang masif hasil dari maraknya kasus Korupsi yang dilakukan para pejabat, untuk mereka pertanggungjawabkan di depan hukum. Itu pertanda Kejaksaan Tinggi telah menunjukkan tanda perang melawan korupsi, namun sayangnya hingga kini hilang bagai debu diterbangkan angin lalu. Semoga Kejati Riau segera membawa kasus ini menuju tahap penyidikan, membuka tabir gelap terhadap pihak-pihak yang terlibat, dan memastikan Penegakan hukum di wilayah Riau tidak pandang bulu", ujar Fadli lagi.
Beberapa waktu yang lalu, dalam proses penanganan korupsi yang menimpa Haji Adil Bupati Meranti yang tersandung tiga kasus korupsi, Bagian Umum Pemkab Meranti punya peranan penting dalam memfasilitasi terjadinya peristiwa tersebut. Mulai dari setoran, gratifikasi yang terungkap di meja persidangan hingga potongan setiap pencairan GU. Seburuk itukah mentalitas pejabat tanpa rasa malu malah terkesan bangga ketika melakukan korupsi ditanah Melayu yang katanya bermartabat dan bermaruah ini.? Apakah para pejabat tersebut bekerja untuk rakyat atau untuk memuaskan nafsu dan kepentingan atasannya.?", tanya Fadli Korlap BASMI Riau.
Disamping itu, menurut Raul, Koordinator lapangan AMAK (Aliansi Masyarakat Anti Korupsi) Riau menilai, lemahnya penegakan hukum terhadap adanya dugaan tindak pidana korupsi dan penyelewengan APBD di Kepulauan Meranti telah menimbulkan tanda tanya besar :
“Mengapa begitu banyak temuan BPK-RI dalam setiap tahunnya justru tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan Tinggi Riau? Termasuk kurang koordinasinya BPK-RI sesuai amanat perundangan terhadap adanya indikasi pidana atas pelaksanaan APBD di Kabupaten Kepulauan Meranti dan siapa saja yang bermain dan menikmati uang APBD Meranti? Ke mana saja mengalirnya dana daerah selama tiga tahun terakhir?,” ujarnya.
BASMI Riau juga menyoroti terkait sejumlah laporan dugaan korupsi di Bagian Umum Setda Kepulauan Meranti yang telah disampaikan masyarakat khususnya ke Kejati Riau hingga kini tidak ada kejelasan tindak lanjutnya seperti apa padahal sudah ada pemberitahuan adanya penyelidikan berdasarkan surat balasan dari Asisten Pidana Khusus Kejati Riau atas laporan pengaduan masyarakat, yang isinya "akan ditindaklanjuti melalui penyelidikan".
Laporan dari BASMI pada Agustus 2025 yang lalu baru mendapatkan balasan tanggal 3 September 2025 setelah hampir sebulan kemudian yang mana berisikan akan ditindaklanjuti nya laporan tersebut ke tingkat penyelidikan dengan mengumpulkan saksi dan bukti serta keterangan lainnya. Sayangnya, hingga kini tanpa kabar mengenai bagaimana hasil atas penyelidikan tersebut. Padahal laporan tersebut diantaranya berdasarkan dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK-RI dan investigasi dilapangan, yang menurut undang-undang dapat dijadikan bukti permulaan dalam penanganan perkara korupsi", ujar Fadli Koordinator BASMI Riau.
*Dasar Hukum yang mengatur*
- Pasal 1 ayat (1) KUHP ditegaskan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
- Pasal 12 B dan 12 C UU Nomor 20 Tahun 2001 menjelaskan bahwa gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dapat dikategorikan sebagai suap jika tidak dilaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari kerja.
- Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik. Perpres ini mengatur secara umum mengenai pengelolaan pengaduan, pemantauan dan evaluasinya.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan
- Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Laporan Pengaduan Masyarakat “Hilang” di Bawa Angin Lalu
Berdasarkan Pasal 102 KUHAP, penyelidik wajib segera menindaklanjuti setiap laporan dugaan tindak pidana yang diketahui atau diterima dari masyarakat. “Sayangnya, LHP BPK-RI dan laporan pengaduan masyarakat seperti dijadikan kertas sampah yang tidak berguna, tidak sebagaimana mestinya,” ujar Raul dari AMAK Riau ketika dikonfirmasi wartawan beberapa waktu lalu.
AMAK Riau juga menegaskan, laporan masyarakat yang ditindaklanjuti tentunya berhubungan erat dengan tahapan dan mekanisme selanjutnya terhadap hasil dari penyelidikan yang telah dilakukan. Sebut saja seperti adanya tahapan penerbitan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan kejaksaan terkait SOP dan mekanisme dari tahapan pelaporan masyarakat.
Namun, menurut Raul dari AMAK Riau, tidak adanya transparansi terkait hasil dari penyelidikan, bahkan muncul dugaan adanya penyelesaian “damai” di luar jalur hukum yang berpotensi perbuatan pengkhianatan terhadap amanah dari konstitusi itu sendiri.
“Mengenai kehadiran KPK-RI di Riau ini memberikan warna baru bagi penegakan hukum terutama terhadap mafia dan pelaku kejahatan tindak pidana Korupsi, yang pastinya menunjukkan ketidakmampuan Kejati Riau dalam memberantas korupsi yang ada di Riau. Sikap vakum Kejati Riau selama ini sebagai bentuk pengabaian akan tugas konstitusi untuk menyelidiki setiap dugaan korupsi secara cepat, cermat dan transparansi, ujar Fadli Koordinator BASMI Riau.
Kejaksaan Abaikan Pedoman Jaksa Agung
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2021 dan Perpres Nomor 15 Tahun 2024, kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Lebih lanjut, sesuai Pedoman Jaksa Agung Nomor 7 Tahun 2024 tentang Standar Pelayanan Publik mengatur bahwa pengaduan masyarakat wajib diproses dengan alur dan tenggat waktu tertentu. Dalam pedoman itu dijelaskan bahwa pengaduan yang diterima harus mendapat jawaban maksimal 7 hari kerja, atau 1 jam jika disampaikan langsung di kantor kejaksaan.
“Faktanya, laporan masyarakat justru tenggelam tanpa kejelasan. Ini bentuk pelanggaran serius terhadap standar pelayanan publik di lingkungan kejaksaan itu sendiri termasuk tidak adanya transparansi dan akuntabilitas,” tegas Fadli dari BASMI Riau lagi.
Penegak hukum kurang mempedomani tentang pengelolaan pengaduan merupakan kewajiban penyelenggara pelayanan publik sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik di Pasal 36", tambah Fadli lagi.
Menurut Raul dari AMAK beberapa waktu lalu, selama ini laporan pengaduan masyarakat seolah-olah hanya menjadi kertas sampah dalam mencari kebenaran dan keadilan, ketidakmampuan Kejati Riau dalam menangani laporan masyarakat terutama tindak pidana korupsi memberi sinyal keterpurukan bagi aparat penegak hukum yang tidak punya keberpihakan terhadap rasa keadilan dan kebenaran. Tidak adanya transparansi dan informasi resmi yang dapat diakses atas laporan dugaan korupsi menguatkan dugaan bahwa Kejaksaan Tinggi Riau tidak mampu mengemban amanah sebagai institusi penegak hukum secara baik. Apa gunanya Kejaksaan Tinggi Riau ada jika hanya untuk sebagai simbol pemberantasan korupsi seperti yang selalu digaungkan oleh Jaksa Agung selama ini. Hanya omong kosong dan pepesan kosong saja.
Indikasi adanya Gratifikasi dan Permainan Gelap
AMAK Riau melalui Raul ketika dikonfirmasi beberapa waktu lalu juga mengomentari yang mana menduga kuat adanya praktik gratifikasi dan setoran dari pejabat Bagian Umum Setda Meranti kepada oknum aparat penegak hukum, LSM, maupun wartawan.
Tujuannya untuk “mengamankan” kasus agar tidak berlanjut ke tahap penyelidikan maupun penuntutan.
Dugaan ini diperkuat dengan mandeknya sejumlah laporan masyarakat yang kiranya sudah memenuhi syarat administrasi dan hukum sebagaimana diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2018 dan Pasal 102 KUHAP, termasuk laporan yang dilayangkan oleh BASMI Riau yang telah mendapatkan balasan untuk ditindaklanjuti penyelidikannya", tambah Raul.
Masihkah bisa beralasan untuk menyelamatkan pelaku koruptor sedangkan ada kesatuan antara mens rea (niat jahat) dan actus reus-nya (perbuatan nyata). Pada kasus di Bagian Umum Pemkab Meranti, kedua unsur itu sudah terpenuhi. Jadi apa alasan Kejati Riau untuk tidak menindaklanjuti?”, tanya Fadli.
Apakah aparat penegak hukum secara sah dan sadar serta sengaja untuk menjadi penghalang keadilan dan penegakan hukum yang dapat dikategorikan sebagai “Obstruction of Justice”, sebagaimana diatur dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP dan Pasal 21 UU Tipikor.?", tanya Fadli lagi dengan nada kecewa.
Bukankah didalam Pasal 108 KUHAP yang masih berlaku, mewajibkan setiap warga negaranya termasuk pejabat yang mengetahui adanya tindak pidana untuk segera melapor, juga dipertegas dalam PP Nomor 43 Tahun 2018 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi", lanjut Fadli lagi dengan geram.
Tuntutan dan Desakan BASMI dan AMAK Riau
Kami meminta kepada Presiden Prabowo dan Komisi Kejaksaan untuk memeriksa Kejaksaan Tinggi Riau karena diduga tidak menindaklanjuti laporan pengaduan masyarakat sesuai prosedur dan SOP yang menjadi dasar bagi jaksa dalam menangani laporan masyarakat. Hal ini sesuai Pasal 6 ayat (4) Peraturan Komisi Kejaksaan nomor 5 tahun 2012", ujar Fadli BASMI.
BASMI Riau dan AMAK Riau juga sepakat menyampaikan beberapa harapan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Komisi Kejaksaan RI :
1. Menurunkan Jaksa Agung Muda Pengawas (Jamwas) ke Riau untuk memeriksa adanya dugaan penyimpangan dan suap di Kejati Riau.
2. Melakukan evaluasi dan menindak terhadap oknum jaksa yang nantinya terbukti melakukan Obstruction of Justice atau memperdagangkan perkara korupsi di Meranti.
3. Meminta KPK turun ke Kabupaten Kepulauan Meranti untuk melakukan penyelidikan dan bersih-bersih terhadap kasus korupsi di daerah.
“Kami jauh lebih percaya kepada KPK-RI daripada Kejati dalam penanganan kasus Korupsi, karena kinerja KPK selama ini jauh lebih tegas dan transparan,” ujar Fadli menegaskan yang di amini juga oleh Raul.
Konsekuensi Hukum dan Ancaman adanya “Obstruction of Justice”
Fadli menilai, adanya dugaan suap dan gratifikasi antara pejabat Meranti dan oknum aparat penegak hukum merupakan bentuk pelanggaran serius yang menimbulkan :
a. Kerusakan reputasi lembaga penegak hukum,
b. Hilangnya kepercayaan publik, dan
c. Kerugian ekonomi serta keuangan negara.
Benarlah kiranya menurut Prof. Mahfud MD, akar persoalan hukum di Indonesia sering kali terletak pada legal structure, yakni perilaku aparat penegak hukum yang korup. Dengan kata lain mentalitas penegak hukum yang melakukan penyelewengan dalam penegakan hukum. Begitu juga Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprata, SH, MH, turut menyoroti lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Katanya, “Masalah kita bukan di hukum tertulisnya, tapi di penegaknya. Banyak aparat yang menyalahgunakan kewenangan sesuai selera mereka, padahal ilmunya sama, bukunya sama.

