Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

DPD IMM Riau Soroti Pelantikan Sekjen DPD RI, Kembali ke Dwifungsi: Polisi Aktif Jadi Sekjen DPD-RI

JENDELA INFORMASI
Mei 21, 2025, 13:01 WIB Last Updated 2025-05-21T06:01:56Z

Jakarta – Suasana Senayan pagi itu tak berbeda dari biasanya. Lobi Gedung DPD RI terlihat tenang, tapi satu keputusan penting sedang berlangsung di dalam: Irjen Pol. Mohammad Iqbal, perwira tinggi aktif Polri, resmi dilantik sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.


Tak banyak keterangan disampaikan ke publik. Tak ada penjelasan apakah Iqbal sudah pensiun dari dinas aktif. Tak ada publikasi SK pemberhentian dari Polri. Yang muncul justru pertanyaan: apakah seorang polisi aktif sah menduduki jabatan sipil setinggi itu?


Undang-undang menjawab dengan terang.

Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyebutkan, “Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.”

Sementara Pasal 109 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN mempertegas, “Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif.”


Jika belum ada pengunduran diri, penempatan ini bermasalah.

Secara hukum, janggal. Secara etika, mengancam prinsip profesionalisme dan netralitas lembaga sipil.


Posisi Sekjen bukan jabatan simbolik. Ia adalah nahkoda administrasi lembaga, mengatur jalannya mesin birokrasi, pengelolaan SDM, hingga urusan anggaran. Sekjen adalah otot teknokratis di balik wajah politik DPD RI. Dipegang oleh perwira aktif Polri, netralitas dan independensinya dipertaruhkan.


 “Pengangkatan polisi aktif sebagai Sekjen DPD RI jelas melanggar aturan. Undang-undang menegaskan harus pensiun atau mundur dulu. Ini bukan cuma soal hukum, tapi soal masa depan demokrasi,” ujar Syahruddin Ramadhan, Koordinator Divisi Kajian Isu dan Aksi PBH IMM Riau. “Kalau hukum terus diabaikan, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan, dan semangat reformasi bisa hilang begitu saja.”


Tren ini bukan tanpa akar. Beberapa tahun terakhir, deretan perwira polisi dan militer aktif kian sering muncul di lembaga-lembaga sipil: komisaris BUMN, staf ahli kementerian, bahkan kepala dinas di daerah. Semua dilakukan atas nama “penugasan.” Dalih administratif yang justru membuka celah kembalinya dwifungsi gaya baru.


Sebagian kalangan menyebutnya bentuk pragmatisme politik. Tapi sejarah mencatat, dwifungsi ABRI dulu juga lahir dari alasan serupa. Dulu, militer bukan hanya alat pertahanan, tapi juga pengendali urusan sipil. Reformasi 1998 memutus garis itu. Polisi dan tentara ditarik dari jabatan-jabatan sipil, demi memastikan supremasi sipil di negara demokratis. Kini garis itu kembali kabur.


Penunjukan Irjen Iqbal menjadi Sekjen DPD RI memunculkan pertanyaan lebih besar: sejauh mana pemerintah serius menjaga semangat reformasi? Apakah pengisian jabatan sipil oleh aparat aktif akan terus dinormalisasi?


Ketua Bidang Hikmah Politik dan Kebijakan Publik, Iyowan May Oziva, SE. Menegaskan tentang jabatan sipil yang diisi perwira, “Ketika jabatan sipil diisi perwira aktif, kita sedang membuka jalan kembali pada praktik dwifungsi. Demokrasi butuh pembatasan tegas antara sipil dan aparat—bukan pembauran yang mengaburkan batas.”


Ketiadaan transparansi atas status Iqbal memperkeruh keadaan. Hingga kini, belum ada konfirmasi terbuka dari Mabes Polri ataupun DPD RI soal proses pengunduran dirinya. Jika proses itu tidak pernah terjadi, maka penunjukan ini cacat prosedur.


“Hadirnya aparat dalam jabatan strategis seperti Sekjen DPD membuka celah konflik kepentingan. Polisi tunduk pada komando, bukan netralitas,” tegas Lamhot Gabriel Nainggolan, Divisi Kajian Isu dan Aksi PBH IMM Riau. 


Di tengah kabut keraguan, satu hal menjadi terang: jika hukum bisa ditekuk untuk mengakomodasi kekuasaan, maka demokrasi kita sedang mundur ke belakang.




Laporan : Rio Eko Susilo 

Iklan

Iklan Ojek Online