Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Kasus Korupsi Meranti Mandek: AMAK Riau Curiga Ada Dugaan Perselingkuhan Oknum Jaksa & Pejabat Meranti

JENDELA INFORMASI
November 14, 2025, 18:35 WIB Last Updated 2025-11-14T11:35:37Z


Pekanbaru, Tingkap.info — Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (AMAK) Riau meminta KPK dan Kejaksaan Agung untuk turun ke Riau, diduga adanya kongkalikong antara oknum jaksa di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau dan Pejabat  Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti atas "vakum nya" penyelidikan terhadap beberapa kasus Tindak Pidana Korupsi yang terjadi khususnya di Kabupaten Kepulauan Meranti. Upaya ini diambil setelah muncul dugaan prihal adanya peluang perselingkuhan atas penegakan hukum (kongkalikong) hingga “vakum nya” penyelidikan terhadap laporan masyarakat terkait dugaan korupsi penggunaan APBD Kabupaten Kepulauan Meranti tahun 2022–2025.


Raul, Koordinator Lapangan AMAK Riau, menilai lemahnya penegakan hukum di Meranti telah menimbulkan tanda tanya besar :


“Siapa saja yang bermain dan menikmati uang APBD Meranti? Ke mana mengalir dana daerah selama tiga tahun terakhir? Dan mengapa begitu banyak temuan BPK setiap tahun justru tidak ditindaklanjuti aparat penegak hukum? Apakah BPK-RI tidak koordinasi terkait adanya indikasi pidana atas pelaksanaan APBD di Kabupaten Kepulauan Meranti atau tidak adanya laporan dari masyarakat ke Institusi Penegak Hukum,” ujarnya kepada media, Kamis (13/11/2025).


Dasar Hukum

  • Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ditegaskan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
  • Sementara itu, Pasal 12 B dan 12 C UU Nomor 20 Tahun 2001 menjelaskan bahwa gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dapat dikategorikan sebagai suap jika tidak dilaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari kerja.
  • Adapun pasal-pasal tentang suap-menyuap diatur secara jelas dalam Pasal 5, 6, 11, 12, dan 13 UU Tipikor.


Menurut Prof. Mahfud MD, akar persoalan hukum di Indonesia sering kali terletak pada legal structure, yakni perilaku aparat penegak hukum yang korup. Dengan kata lain mentalitas penegak hukum yang melakukan penyelewengan dalam penegakan hukum.


Indikasi “Masuk Angin” dan Hilangnya Laporan Masyarakat di Meja Kerja


AMAK menyoroti sejumlah laporan dugaan korupsi salah satunya di Bagian Umum Setda Kepulauan Meranti yang telah disampaikan masyarakat khususnya ke Kejati Riau namun tak jelas tindak lanjutnya. 


Terakhir, laporan dari BASMI pada Agustus 2025 yang lalu baru mendapatkan balasan sebulan kemudian terhadap akan ditindaklanjuti nya laporan masyarakat tersebut ke tingkat penyelidikan dengan mengumpulkan saksi dan bukti serta keterangan lainnya. Sayangnya, hingga kini tanpa kabar mengenai bagaimana hasil atas penyelidikan tersebut. Padahal laporan tersebut diantaranya berdasarkan dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK-RI, yang menurut undang-undang dapat dijadikan bukti permulaan dalam perkara korupsi.


Hal itu sejalan dengan Pasal 102 KUHAP, yang menyatakan bahwa penyelidik wajib segera menindaklanjuti setiap laporan dugaan tindak pidana yang diketahui atau diterima dari masyarakat. “Sayangnya, LHP BPK-RI seperti hanya dijadikan kertas pembungkus, tanpa ada fungsi dan nilai hukum yang semestinya,” ujar Raul.


AMAK Riau menegaskan, laporan masyarakat yang ditindaklanjuti tentunya berkaitan erat dengan tahapan selanjutnya sebut saja bagaimana nanti hasil dari penyelidikan yang telah dilakukan yang mana bisa saja dengan penerbitan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan kejaksaan.


Namun, menurut Raul, tidak adanya transparansi terkait hasil penyelidikan, bahkan muncul dugaan adanya penyelesaian “damai” di luar jalur hukum yang berpotensi pengkhianatan terhadap konstitusi. Sehingga bukti awal atau permulaan sengaja ditutupi dan tidak digunakan sebagai dasar penyelidikan seperti yang disebutkan dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP tentang harus terpenuhinya minimal 2 alat bukti terhadap pembuktian suatu tindak pidana yang telah terjadi.


Kejaksaan Dianggap Abaikan Pedoman Jaksa Agung


Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2021 dan Perpres Nomor 15 Tahun 2024, kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi.


Lebih lanjut, Pedoman Jaksa Agung Nomor 7 Tahun 2024 tentang Standar Pelayanan Publik mengatur bahwa pengaduan masyarakat wajib diproses dengan alur dan tenggat waktu tertentu. Dalam pedoman itu dijelaskan bahwa pengaduan yang diterima harus mendapat jawaban maksimal 7 hari kerja, atau 1 jam jika disampaikan langsung di kantor kejaksaan.


“Faktanya, laporan masyarakat justru tenggelam tanpa kejelasan. Ini bentuk pelanggaran serius terhadap standar pelayanan publik di lingkungan kejaksaan,” tegas Raul.


Tuntutan dan Desakan AMAK Riau


AMAK Riau menyampaikan beberapa tuntutan kepada Jaksa Agung dan Presiden Prabowo Subianto:


  1. Menurunkan Jaksa Agung Muda Pengawas (Jamwas) ke Riau untuk memeriksa dugaan penyimpangan dan suap di Kejati Riau.
  2. Melakukan evaluasi dan mutasi terhadap oknum jaksa yang diduga membiarkan atau memperdagangkan perkara korupsi di Meranti.
  3. Meminta KPK turun langsung ke Kabupaten Kepulauan Meranti untuk melakukan penyelidikan dan bersih-bersih dalam kasus korupsi daerah.


“Kami lebih percaya KPK daripada Kejati, karena kinerja KPK selama ini jauh lebih tegas dan transparan,” ujar Raul menegaskan.


Konsekuensi Hukum dan Ancaman “Obstruction of Justice”


Raul menilai, dugaan suap dan gratifikasi antara pejabat Meranti dan oknum aparat hukum merupakan bentuk pelanggaran serius yang menimbulkan :


a. Kerusakan reputasi lembaga penegak hukum,


b. Hilangnya kepercayaan publik, dan


c. Kerugian ekonomi serta keuangan negara.


Bila aparat penegak hukum dengan sengaja tidak menindaklanjuti laporan korupsi, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai “Obstruction of Justice”, sebagaimana diatur dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP dan Pasal 21 UU Tipikor.


Selain itu, Pasal 108 KUHAP mewajibkan setiap warga negara dan pejabat yang mengetahui adanya tindak pidana untuk segera melapor, sebagaimana dipertegas dalam PP Nomor 43 Tahun 2018 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi.


Dugaan Setoran Gratifikasi dan Kolaborasi Gelap


AMAK Riau menduga kuat adanya praktik gratifikasi dan setoran dari pejabat Bagian Umum Setda Meranti kepada oknum aparat penegak hukum, LSM, maupun wartawan.


Tujuannya untuk “mengamankan” kasus agar tidak berlanjut ke tahap penyelidikan maupun penuntutan.


Dugaan ini diperkuat dengan mandeknya sejumlah laporan masyarakat yang sudah memenuhi syarat administrasi dan hukum sebagaimana diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2018 dan Pasal 102 KUHAP.


Dalam sistem hukum pidana, seseorang baru dapat dipidana jika terdapat kesatuan antara mens rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan nyata).


“Pada kasus di Meranti, kedua unsur itu sudah terpenuhi. Jadi alasan apa lagi bagi Kejati untuk tidak menindaklanjuti?” tanya Raul.


Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprata, SH, MH, turut menyoroti lemahnya penegakan hukum di Indonesia.


“Masalah kita bukan di hukum tertulisnya, tapi di penegaknya. Banyak aparat yang menyalahgunakan kewenangan sesuai selera mereka, padahal ilmunya sama, bukunya sama,” ujarnya.


Raul menutup pernyataannya dengan kutipan Latin : Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbis (Saat fakta sudah berbicara, apa gunanya kata-kata?) Facta sunt potentiora verbis (Fakta lebih kuat daripada ucapan).  



Iklan

Iklan Ojek Online