Pekanbaru, Tingkap.info – Gerakan Pramuka, yang sejak lama dikenal sebagai wadah pembinaan karakter, disiplin, dan kepemimpinan generasi muda, kini tengah menjadi sorotan publik. Pertanyaannya sederhana namun menggugah: Apakah Pramuka kini anti kritik?
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul sejumlah keluhan dari anggota muda dan pegiat kepanduan yang menilai bahwa ruang dialog dan evaluasi dalam tubuh organisasi Pramuka mulai tertutup. Kritik yang sejatinya menjadi bentuk kepedulian sering kali dipandang sebagai bentuk pembangkangan. Fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar tentang arah pembinaan dan nilai-nilai keterbukaan yang selama ini dijunjung tinggi oleh Pramuka.
Padahal, jika kita menilik nilai dasar Dasa Dharma Pramuka, terdapat butir penting yang berbunyi “Patuh dan suka bermusyawarah.” Nilai ini semestinya dimaknai sebagai ajakan untuk membuka ruang dialog, menerima kritik, dan memperbaiki diri demi kemajuan bersama. Kritik bukanlah ancaman, melainkan cermin untuk melihat kekurangan dan peluang perbaikan.
Sejumlah pengamat kepemudaan menilai, jika Pramuka menutup diri terhadap kritik, maka organisasi ini berisiko kehilangan daya tarik di mata generasi muda. Dalam era keterbukaan informasi dan demokrasi digital, organisasi yang enggan berbenah dan mendengar aspirasi akan tertinggal oleh zaman.
“Pramuka seharusnya menjadi contoh organisasi yang demokratis, berjiwa kepemimpinan, dan adaptif terhadap perubahan. Kritik yang konstruktif justru harus dijadikan bahan evaluasi,” ujar salah satu aktivis muda kepanduan di Riau
Kini, saatnya seluruh unsur Gerakan Pramuka — dari kwartir nasional hingga gugus depan — melakukan refleksi mendalam. Apakah semangat berani, jujur, dan bertanggung jawab masih benar-benar hidup di setiap kegiatan dan kebijakan organisasi?
Kritik bukanlah bentuk kebencian, melainkan wujud kecintaan terhadap Pramuka agar tetap relevan, modern, dan berpihak kepada generasi penerus bangsa.

